Tuesday, December 29, 2015

untukmu, aku rindu.

Hai. 
Apa kabar?
Aku dengar kamu sedang liburan.
Bagaimana perjalananmu, apakah menyenangkan? Apakah kamu pusing? Aku dengar jalanan sedang ramai-ramainya saat ini.
Semoga kamu tak bosan berada di mobil, berdesakkan dengan keluarga kecilmu yang menyenangkan. 

Ini aku.
Masih ingat?
Aku yang selalu mengganggu malammu.
Yang selalu membuat malammu menjadi berisik dengan suara-suaraku.
Yang selalu mengganggumu dengan pertanyaan monoton yang paling kamu benci itu. Masih ingat? 
Tapi, mungkin sekarang bukan pertanyaan itu yang paling kamu benci. 
Melainkan aku. 
Iyakan?

Boleh aku bertanya?
Kenapa tiba-tiba hilang?
Kenapa tiba-tiba berhenti?
Kenapa tiba-tiba menjadi asing kembali?
Apa aku salah?
Salahku apa?
Bolehkah aku minta maaf?
Atau bolehkah aku sogok kamu dengan action figure kesukaanmu agar kamu kembali?

Boleh aku katakan sesuatu?
Aku rindu.
Aku rindu dengan lelucon anehmu.
Aku juga rindu dengan suaramu.
Aku bahkan rindu dengan rambutmu, walau aku tak pernah menyentuhnya sekalipun.
Dan aku rindu denganmu.
Bolehkan aku rindu?
Apa sekarang sudah ada yang melarang?

Di sini dingin.
Dingin sekali.
Tempatmu bagaimana?
Dulu, kalau dingin, kamu selalu minta untuk aku peluk.
Sekarang, boleh gantian?
Boleh aku yang minta peluk?
Sekali saja.
Tapi jangan berhenti.
Jangan pernah berhenti.
Nanti aku kedinginan lagi.

Maaf.
Maaf karena kamu telat menyadari bahwa kamu telah membuang-buang waktumu bersamaku.
Maaf karena kamu telat menyadari bahwa tak ada gunanya meminta pelukan dari seseorang sepertiku.
Dan maaf,
Maaf karena aku yang tak pernah ingin pergi, yang membuatmu telat menyadari semuanya.

Terima kasih.
Terima kasih karena pernah mencoba untuk bertahan.
Terima kasih karena pernah ada walaupun kita sama-sama sependapat; Aku sangat menyebalkan. 
Dan terima kasih, 
Terima kasih karena pernah berusaha untuk mengerti segala hal yang ada dalam diriku.

Orang seperti kamu,
Kenapa harus berada di dunia ini?
Tidak pantas.
Dunia ini terlalu hina untuk orang seperti dirimu.

Semoga kamu terus bahagia,
Terus mendapatkan keberkahan di dunia yang menyedihkan ini,
Dan menemukan orang yang pantas untukmu,
Yang memang diciptakan hanya untukmu.

Salam Hormat,

Dari Aku,

Yang meminta izin untuk merindukanmu, sekali lagi.

P.S.: Laporan, aku masih belum menonton Star Wars, maaf ya.
P.P.S: Satu lagi, Aku ingin minta izin. Jika suatu hari aku melihatmu di Blok M, boleh ya, aku pegang rambutmu? Sebentar saja, habis itu aku janji kamu tak akan pernah melihatku lagi. Boleh ya?

Monday, December 28, 2015

20/12/15

I hope you could see the potential of you and me being together as a lover.
But you were blind,
And I was madly in love. 

di malam hari, kamu membunuhku

Aku terbiasa dengan malam seperti ini. Yang dinginnya sampai ke tulang rusukku, menyelinap lewat rongga rongga tulangku. Yang sesaknya membuatku ingin mati, tetapi tak pernah disapa oleh Sang Penyabut Nyawa. Yang sunyinya sangat menggangu, tetapi dalam sunyi aku merasa utuh.

Aku sungguh terbiasa dengan malam seperti ini. Yang bisa membuatku gila dan dapat merasakan leganya hidup di waktu yang bersamaan. Yang membuatku menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang keji, hina, yang membuatku malu dan iri dengan anjing. Yang membuatku yakin bahwa kita tidak perlu mati untuk merasakan bagaimana disiksa di Neraka, karena kita sudah berada di Neraka.

Sumpah, demi segala hal yang tidak aku percayai, aku sangat terbiasa dengan malam seperti ini.

Sampai suatu malam, kamu datang, merusak segala ritual malamku.

Kamu datang dengan ucapmu. Tidak bisa tidur, maka kamu luangkan waktumu untukku, yang setelah beberapa lama, kamu baru menyadari, bahwa aku tak pantas mendapatkan waktumu, atau waktu siapapun.

Beri aku sedikit perhatian, dan aku adalah budakmu selamanya. Dan itu yang kamu lakukan, dengan sengaja, dengan segala keyakinan bahwa kamu telah melakukan hal yang benar, kamu lakukan itu. Dengan sengaja.

Kamu rasa kurang, kamu rasa perhatian dan sedikit ucapanmu belum mampu membuatku mati, maka kamu ucapkan kata-kata terlarang itu.

"Kangen.", katamu.

"Brengsek.", kata (hati) ku.

Aku sungguh terbiasa dengan malam yang menyakitiku. Aku selalu merasa aku pantas mendapatkannya. Tetapi kamu, kamu membuatku mengingat-ingat kembali dosa besar apa yang pernah ku buat di waktu dulu sehingga pantas mendapatkan siksaan semacam ini.

Sekarang, malamku menjadi sangat aneh. Tentu masih ada dingin yang diam-diam menyelinap lewat rongga-rongga tulangku. Masih ada harapan untuk bertemu dengan Sang Penyabut Nyawa. Masih dengan keyakinan yang sama bahwa Neraka yang dijanjikan Kitab Suci adalah tempat yang kita tinggali sekarang.

Tetapi,
Aku tak pernah terbiasa lagi.
Aku tak pernah utuh lagi.

Karena malam ini dan seterusnya, aku utuh saat kamu menyapaku lantaran kantuk tak lekas menjemputmu.
Karena malam ini dan seterusnya, aku utuh saat kamu memanjakanku dengan segala perhatian murahanmu.
Karena malam ini dan seterusnya, aku utuh saat kamu menyatakan rindu walau perasaanmu tak berkata yang sama.

Karena malam ini dan seterusnya, aku utuh dengan segala kebohonganmu.

Dan itu lebih parah daripada Bumi yang kupercayai adalah Neraka.
Dan itu lebih parah dari aku yang mengharapkan disapa Sang Penyabut Nyawa.
Dan itu jauh lebih parah dari aku yang sakit karena dingin sudah bersarang diseluruh seluk beluk tubuhku.

Dan semua itu jauh lebih parah 
Dari malam itu
Saat aku menyapamu
Dan yang ku dapat adalah

Read
2.54 AM. 

Wednesday, October 28, 2015

menceritakan ketakutan

Rasanya sangat menyebalkan jika kamu harus dihadapkan dengan sesuatu yang itu-itu saja. Apalagi jika sesuatu yang harus kamu hadapi itu adalah sesuatu yang sangat kamu tidak sukai. Sesuatu yang sangat kamu hindari, yang kalau bisa, kamu buang jauh-jauh dari hidupmu. Seperti kamu kubur di dalam tanah, atau dibakar di halaman belakang rumahmu, atau kamu lemparkan ia ke laut supaya hanyut sampai ke daratan sana, tempat segala omong kosong dibuang.

Tapi, hal yang menyebalkan ini tidak dapat aku buang begitu saja. Ia seperti plastik yang sudah tidak dipakai lagi. Kita harus membuangnya, tetapi harus di tempat yang benar karena kalau kita membuangnya ke sembarang tempat seperti contoh di tanah, maka kita akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menguraikannya. Itu, sepert itu. Seperti itu rasanya ketika aku ingin membuang ketakutanku. Tetapi bedanya, jika plastik masih memiliki tempat yang bisa disebut sebagai pembuangan plastik, maka ketakutanku adalah sebuah atom yang kehadirannya ditolak oleh ribuan atom lain di bimasakti ini lantaran kehadirannya sangat merepotkan.

Itu benar. Ketakutanku sangatlah merepotkan. Ia dapat membuatku tak konsen melakukan apapun di manapun. Ia dapat membuatku jadi aneh, lebih aneh dari biasanya. Ia membuatku berkelana dalam pikiranku sendiri. Aku jadi lebih sering kosong dibuatnya. Ketakutanku seperti dapat mengontrol diriku, melakukan apapun yang ia mau. Dari semua hal yang paling parah di muka bumi ini, aku menobatkan ketakutanku dinomor teratas. Ia pantas mendapatkan penghargaan semacam itu.

Ketakutanku seperti anak kecil yang aku suapi makan setiap hari. Makanan favoritnya adalah kepanikan, kesedihan, kebingungan, dan juga kekhawatiran. Lama kelamaan dia tumbuh dan menjadi tak bisa dikontrol. Sering mengamuk dan mengeluarkan banyak emosi yang mengefek dalam kehidupanku. Jika ketakutan adalah seseorang, aku bersumpah akan melarang 7 keturunanku dan 7 keturunan mereka dan 7 keturunan mereka lagi (dan begitu seterusnya) untuk berkenalan dengannya. 

Ketakutanku seperti mantan pacarmu yang sangat posesif. Terus memelukmu lantaran ia takut bahwa suatu hari kamu akan menyadari kalau ada seseorang di luar sana yang jauh lebih bisa membuatmu senang, dan namanya adalah Bebas. 

Tuesday, October 27, 2015

sepertinya hilang

Pernah tidak dirimu merasakan ada sesuatu yang hilang? Seperti sesuatu yang pernah kau miliki sebelumnya, lalu tiba-tiba lenyap begitu saja. Entah karena dirimu lupa menaruhnya di mana, atau mungkin karena ada seseorang yang mencurinya lantaran Ia iri dan selalu saja iri dengan apa yang kau punya. Tetapi bedanya, yang hilang ini bukanlah suata barang ataupun seseorang. Melebihkan sebuah perasaan, atau imaji, hasil karangan otak besarku yang aneh ini. Sesuatu yang aku tak tahu harus menyebutnya apa selain tidak nyata.

Lalu rasanya membekas ke sekujur tubuh. Seperti sensasi saat kamu menonton film horror di bioskop. Atau ketika kamu memakan es krim yang begitu dingin. Atau keluar dari ruangan dingin dan disambut oleh panasnya sinar matahari yang begitu membara. Rasanya membekas dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuatmu terbiasa kembali. Dan seperti itu pula rasanya kehilangan sebuah imaji, khayalan, atau hal yang tidak nyata ini.

Aku seperti kehilangan sebuah bagian dalam hidupku, lalu aku mencoba optimis dan memasangkannya dengan bagian yang lain. Tetapi tidak cocok. Seperti mengganjal. Rasanya seperti saat kamu salah mengenakan sepatumu, sehingga yang kanan dan kiri jadi berbeda dan tidak berpasangan. Itu dia, seperti itu. Walaupun sepatu itu tetap dapat kamu gunakan, namun sepatunya tidak akan pernah pas. Fungsinya tetap sama, namun akan selalu ada yang kurang. Kamu tetap mempesona memakainya, tetapi akan sedikit membingungkan dirimu, atau kalau sial, orang lainpun juga akan jadi bingung.

Ya, kurang lebih seperti itu rasanya ketika kamu kehilangan sesuatu yang bagaimanapun kamu mencari penggantinya, Ia tidak akan pernah kembali menjadi sempurna seperti sebelumnya lagi. Rasanya tidak enak. Apalagi jika kamu sangat menyadari bahwa butuh waktu yang sangat lama untuk mengembalikan sesuatu yang tidak nyata ini ke dalam hidupmu lagi. Ya, sesuatu yang tidak nyata. Aneh, aku bahkan tidak tahu aku telah kehilangan apa.