Wednesday, January 27, 2016

memikirkan kamu

Aku pernah memikirkan kita. Kita duduk berseberangan di dalam sebuah coffee shop langgananmu. Larut dalam obrolan seru yang sesekali kita sela dengan canda tawa. Kadang kita terlalu seru dan menjadi berisik, membuat pelanggan lain mendelik kesal ke arah kita. Kadang pula kita terlalu nyaman dengan diam, membuat kucing milik pemilik coffee shop tersebut datang ke arahmu dengan maksud ingin di manja. Ah, aku juga ingin dimanja olehmu.

Aku juga pernah memikirkanmu dengannya. Waktu itu kalian baru bersama selama 14 hari. Kalian menghabiskan hari dengan menonton film yang kurang seru di Bioskop. Entah mengapa memilih film itu, yang penting bisa berdua. Di dalam bioskop kalian tidak menonton. Sibuk berpelukan, mengobrol, dan sesekali merasakan bibir masing-masing. Satu jam setengah kalian lewatkan selamat dari amukan satpam Bioskop tersebut. 

Mungkin yang ini akan terkesan aneh, tapi aku pernah memikirkan bagaimana kamu dibuat. Bukan dengan cara suami-istri, biologis, atau apapun itu namanya. Tetapi kamu dibuat dengan hujan sebagai spermanya dan tanah sebagai ovumnya dan dengan gaya yang disebut "Tarikan Gravitasi". Kamu juga dibuat dengan bintang jatuh yang bertemu dengan semua doa anak-anak berusia 5 tahun sebelum tidur. Kamu dikeluarkan dari selangkangan langit dan terjun bebas tepat ke arah Bumi. Semua itu lumrah karena kamu adalah anak Semesta. 

Dan bahkan, aku pernah memikirkanmu sebagai rumahku. Bagaimana badanmu adalah pondasi yang tepat untukku berlindung saat dunia berubah menjadi sangat keji. Matamu adalah cahaya yang akan menerangi segala kegelapan dalam hidupku. Mulutmu akan membuat berbagai alunan indah yang akan selalu membuatku terbius. Dan pikiranmu adalah tempat di mana aku ingin tinggal di sana selama-lamanya.

Dan malam ini aku pun memikirkanmu lagi. Memikirkan apakah kamu permah memikirkanku, seperti yang aku lakukan, saat ini. 

(Walaupun aku tahu kamu sedang sibuk berbincang dengannya saat ini)

ada yang jatuh cinta kepada diriku (dan menjadi posesif)

Aku ini apa
Hanya segumpal jiwa tanpa rasa
Berjalan di bumi tanpa tujuan
Hanya mengikuti ke mana kesepian mengarah

Untuk siapa aku ada
Hidup bahkan tak diperuntukkan untukku
Dan jikalau matahari terbit pada malam hari;
Tuhan tetap tahu akulah arti dari kesendirian itu sendiri

Apa gunanya
Saat hidup telah dibutakan oleh keraguan
Dan ilusi menjadi realita yang nyata
Maka semuanya menjadi tanda tanya;
Mungkin kematian adalah kehidupan yang tertunda

Maka suata hari aku bertanya
Mengapa kosong yang selalu terasa
Dan hening yang selalu ku dengar
Tak ada suka yang pernah melingkar
Hanya luka yang selalu menyapa

Dan hari ini aku mendapatkan jawabannya;

Mungkin kesedihan telah jatuh cinta kepada diriku.

Friday, January 1, 2016

bertemu kamu

2.34 PM

Terlalu terang. Aku tidak suka. Sepertinya matahari punya misi tersendiri untuk membakar seluruh isi bumi. 

Aku datang tepat waktu. Kamu telat 14 menit. 

2.35 PM

15 menit dan batang hidungmu masih belum terlihat. Minumanku sudah menghangat akibat sinar matahari yang terlalu panas. Pasangan di pojok ruangan juga sudah pergi. Mungkin ingin bermesraan ditempat yang lebih sepi, atau mungkin hanya sekedar ingin pergi ke tempat yang lebih dingin. Apapun alasannya, kamu masih belum datang juga.

2.47 PM

Akhirnya Vespa coklat yang selalu kamu cuci seminggu sekali itu pun datang juga.   

2.50 PM

Kamu duduk, memanggil pelayan dan memesan es lemon tea.

"Karena es teh manis itu konspirasi, manisnya cuman di awal doang. Aku gak suka." 

Jawabmu setiap kali aku bertanya.

2.51 PM

"Menurutmu kalau petir itu orang, dia akan seperti apa?" Tanyamu padaku.

5 tahun sudah tidak bertemu dan pertanyaan bodoh itu yang pertama kali kamu lontarkan. Tidak ada rindu ataupun basa-basi.

"Dingin." Jawabku singkat sambil meminum sisa minumanku yang sudah menghangat.

"Hanya dingin?" Tanyamu sambil membetulkan posisi duduk.

"Semerawutan. Suka-suka. Destructive."

"Menarik." Jawabmu tanpa melihatku karena sibuk merogoh tas mencari Marlboro merah kesukaanmu.

"Lalu, kalau pelangi adalah orang, dia akan seperti apa?" Tanyaku, berusaha menciptakan percakapan menarik. Kamu tak pernah suka obrolan yang biasa. 

"Seperti dia." Jawabmu seraya menunjuk perempuan yang duduk persis dibelakangku. 

"Kenapa?" Tanyaku dengan wajah kebingungan.

"Kenapa apanya?" Tanyamu yang juga ikut kebingungan.

"Kenapa bukan aku?" 

"Karena kamu adalah Petir, bukan Pelangi."

"Tetapi petir itu jelek." Jawabku tanpa bisa menutupi rasa iri. 

Lalu kamu tertawa.

"Kamu belum berubah ya." Jawabmu tanpa melihatku untuk yang kedua kalinya.

"Kamu tak akan pernah mengerti, karena kamu selalu menduduk." 

Kamu keluarkan dua lembar uang yang cukup untuk membayar semua pesanan, dan pergi begitu saja.

Meninggalkanku lagi, setelah 5 tahun pergi tanpa kabar.

3.09 PM

Vespa coklatmu sudah hilang. Matahari tiba-tiba lenyap dibalik awan-awan hitam.
Angin datang dari segala arah, menerbangkan daun-daun kering yang berjatuhan di ujung jalan.

Lalu, ada suara petir di ujung sana.

Ah, sialan.