Tuesday, September 13, 2016

jadi, jangan lupa balas pesan saya, ya?

Di malam hari saya akan tetap terjaga, karena saya yakin malam ini kamu pasti akan kembali membalas pesan saya.
Kamu akan mengajak saya berbincang, menertawakan hal yang tak semestinya kita jadikan candaan. 
Tapi tak apa, tak ada yang akan memarahi.
Karena saya tahu, kamu dan saya, masihlah sangat muda; masih banyak berbuat salah.
Nanti kamu datang, membuat saya yang sudah berjanji kepada orang tua agar tidur lebih cepat, menjadi pendosa yang berakhir tidak tidur semalam suntuk.
Tapi tak apa, tak ada yang merasa rugi.
Karena saya mau kamu; salah ataupun benar, baik ataupun buruk. Saya lebih mau kamu ketimbang tidur malam ini.
Lalu kamu mulai mengajak saya berdiskusi tentang hal berat, mengkritik sana sini layaknya orang paling benar.
Tapi tak apa, tak ada yang peduli.
Karena saya suka cara kamu memaki, pun cara kamu membenci. Karena saya suka gelapmu, sebagaimana saya suka terangmu.
Lalu kamu akan meninggalkan saya, tertidur atau mungkin malas membalas pesan. Meninggalkan saya yang bingung, tetapi tetap menunggu hingga pagi mulai tampak.
Tapi tak apa, tak ada yang merasa sedih.
Karena saya tahu, kamu tidak pernah mengharapkan kehadiran saya, ataupun sekedar balasan pesan dari saya, sebagaimana saya selalu mengharapkan semua itu dari kamu.
Dan tak apa, saya akan tetap baik-baik saja.
Karena sayapun tahu, mencintaimu tidak melulu soal bahagia.
Maka jangan ragu, balas saja pesan saya.
Meskipun nanti kamu lupa membalas, atau mungkin ternyata malas,
Saya tak apa, saya akan tetap baik-baik saja.

Tuesday, May 24, 2016

cerita ini hanya tentangnya seorang

Ia datang dengan ketenangannya yang sungguh membingungkan 
Dengan leluasa ia menyelinap melalui diri diri orang asing yang lalu lalang di sekitar
Sibuk menerka tanpa henti
Ia pun adalah kreasi Tuhan yang tak 'kan pernah ku mengerti

Lalu ia pergi dengan gelegar layaknya bencana maha dahsyat
Tanpa ampunan bagi hamba sahaya manapun
Ia pergi meninggalkan luka dan binasa 
Dan dengan segala kerisauan hati
Ia menghilang tepat ketika senja tak lagi bersahaja

Namun ia kembali membawa hati layaknya kasih dari Roh Kudus
Seperti apa yang telah ia katakan;
Jiwa dan raganya sudah terpaut akan sesuatu yang seharusnya tak pernah ia miliki
Dan dengan segala kesombongannya yang hakiki
Ia mengajakku untuk berpetualang bersamanya
Sekali lagi

Ia adalah malam malam panjangku yang sepi
Perasaan tandu yang ku padu padankan dengan duri
Seperti hujan yang menerpa bumi tiada henti;
Ia adalah kesedihanku yang berjalan seorang diri

Tapi ia adalah pagiku yang ku nanti
Bagai manusia yang lebih suka diberi
Dan jingga yang bersenggema dengan merah di sore hari;
Ia adalah bahagiaku yang sudah lama bersarang dalam mimpi

Karena mungkin 
Ia adalah bentuk dari segala keraguan 
Yang akan selalu ku harapkan
Dan akan selalu ku aminkan. 

Dan ini hanya untuknya.

Monday, March 7, 2016

dan akhirnya aku pun menghilang juga

Aku ingin menghilang. Di antara ribuan orang hilir mudik memikirkan di mana seharusnya mereka berada sekarang. Di antara gedung-gedung besar yang menyimpan berbagai kebusukan Ibukota. Di antara seluk beluk jalan-jalan kecil yang di sana mungkin aku baru mengerti apa itu artinya rumah. Di antara semua orang, yang aku kenal, aku harus menghilang. Di antara mereka, agar tidak tersimpan rahasia dan terbongkarnya semua cerita.

Karena pada hari ini aku sudah muak. Menyimpan segala sesuatu yang lama bagai lemari usang di pojokan gudang. Seperti kata-kata adalah sandi yang tidak boleh diberitahukan kepada siapapun, aku menyimpan cerita-cerita itu bagaikan seorang perawan religius yang takut akan hubungan badan tanpa ikatan pernikahan. Semuanya adalah keharusan; menyimpan, menjaga, berdiam. Agar semuanya kembali senang, agar semuanya kembali wajar.

Maka dari itu aku harus menghilang. Dari kamu, dia, bahkan diriku sendiri. Aku harus menghilang dari segala cerita tua yang sudah tak tahan untuk dikeluarkan. Aku harus menghilang dari berbagai serbuan kata yang siap membungkam semua orang dari balik punggung mereka. Aku harus menghilang dari setiap gerakan yang menafsirkan sesuatu yang mustahil untuk diterima. Aku harus menghilang dari kamu, dia, bahkan diriku sendiri.

Agar semuanya kembali senang, agar semuanya kembali wajar.

Monday, February 22, 2016

kemungkinan-kemungkinan kecil di sore hari

Mungkin semua lelah yang dirasakan tidak akan pernah cukup. Atau luka yang terus membiru tak akan pernah kunjung hilang. Mungkin pula kesedihan ini tak akan pernah bosan menghujam tubuh yang sudah tak mampu lagi. Mungkin memang sudah suratan takdir. Atau mungkin Tuhan memang suka melihat umatnya menderita, meraung-raung untuk sesuatu yang mereka berdua sama-sama tahu adalah mustahil untuk diadakan.

Mungkin hari ini aku memang diharuskan untuk sakit. Untuk sakit sesakit-sakitnya tetapi tetap dipaksakan untuk berfungsi. Tak ada yang mau peduli karena waktu tidak akan berhenti untuk satu orang yang menderita saja. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Entah dengan luka yang sibuk mereka obati atau pahit yang buru-buru mereka tutupi agar tak tercium oleh orang lain. Semua disibukkan oleh satu penyebab yang sama, tetapi tak ada yang mau berbagi. Karena kita sama-sama mengerti; Luka kita bukanlah konsumsi bersama.

Mungkin memang begini seharusnya hidup. Untuk hidup merasakan sakit dan sesekali diselingi oleh tawa yang tulus. Hanya sesekali karena kehidupan adalah bukti dari dedikasi tinggi kita kepada kesedihan yang abadi. Tak ada yang bisa melawan kecuali kematian. Jika sudah siap dijemput oleh ketiadaan maka boleh pergi dari permainan sampah ini. Benar, hidup seperti permainan tua yang terkadang aku ingin curang saja agar bisa dikeluarkan dari permainan sesegera mungkin. Karena tamatku terasa masih begitu lama dan aku sudah mulai kelelahan.

Maka mungkin hidupku memang harus dijalankan seperti ini. Dengan rasa berat yang menggantung di dada. Yang menyesakkan seperti ada sesuatu yang menghimpit organ pernapasan. Yang membuat segalanya sangat menyesakkan. Yang membuatku merasa penuh dan kosong diwaktu yang bersamaan. Yang membuat hidup menjadi neraka tersendiri untuk jiwa yang sudah tak tahan lagi. Yang membuatku ingin tamat saja, sekarang, saat ini juga.

Mungkin.
Mungkin.
Tetapi hanya mungkin

Wednesday, February 10, 2016

layaknya atheis dan filsuf

Cinta adalah sebuah gagasan unik yang sayangnya tak lebih dari sekedar dongeng sebelum tidur. Atau sebuah keberuntungan yang dengan sengaja Tuhan sebarkan saat matahari menampakan cahayanya. Cinta tak lebih dari sekedar mimpimu yang entah karena sebab apa, bisa bertemu dengan kenyataan yang ada. Sebuah ekspektasi liar yang kamu izinkan untuk bersarang di pikiranmu. Sebuah halusinasi yang lebih indah dan memabukkan dari obat terlarang manapun. Yang membuatmu terlalu bahagia akibat dopamine yang telah memenuhi seluruh seluk beluk otakmu. Seperti babi yang dihalalkan bagi para Muslim saat waktu terdesak; Cinta adalah suatu imaji haram yang telah kamu adakan karena tekanan yang tak terbantahkan. Tak lebih, dan tak kurang. Hanya lewat, namun tak pernah benar benar ada. Setidaknya, itulah yang aku percaya.

Selayaknya atheis, aku akan selalu menanyakan kebenaran akan eksistensi dari sesuatu yang disebut Cinta itu. Katakanlah aku sembrono, berlebihan, dan kurang bergaul sehingga memiliki pemikiran semacam ini. Mungkin memang itu yang telah terjadi. Tetapi biarkanlah aku menjadi selayaknya seorang filsuf yang tak akan pernah berhenti menanyakan segala sesuatu yang ada di Bimasakti ini. Biarkanlah aku bertanya, tentang sebuah distraksi yang selalu orang bicarakan, yang bisa membuat mereka lupa daratan, dapat melihat ikan terbang dan burung berenang. Biarkanlah aku terus menanyakan kebenaran akan eksistensi dari sesuatu yang disebut Cinta itu. Layaknya mereka, yang seperti tak pernah kehilangan pertanyaan.

Wednesday, January 27, 2016

memikirkan kamu

Aku pernah memikirkan kita. Kita duduk berseberangan di dalam sebuah coffee shop langgananmu. Larut dalam obrolan seru yang sesekali kita sela dengan canda tawa. Kadang kita terlalu seru dan menjadi berisik, membuat pelanggan lain mendelik kesal ke arah kita. Kadang pula kita terlalu nyaman dengan diam, membuat kucing milik pemilik coffee shop tersebut datang ke arahmu dengan maksud ingin di manja. Ah, aku juga ingin dimanja olehmu.

Aku juga pernah memikirkanmu dengannya. Waktu itu kalian baru bersama selama 14 hari. Kalian menghabiskan hari dengan menonton film yang kurang seru di Bioskop. Entah mengapa memilih film itu, yang penting bisa berdua. Di dalam bioskop kalian tidak menonton. Sibuk berpelukan, mengobrol, dan sesekali merasakan bibir masing-masing. Satu jam setengah kalian lewatkan selamat dari amukan satpam Bioskop tersebut. 

Mungkin yang ini akan terkesan aneh, tapi aku pernah memikirkan bagaimana kamu dibuat. Bukan dengan cara suami-istri, biologis, atau apapun itu namanya. Tetapi kamu dibuat dengan hujan sebagai spermanya dan tanah sebagai ovumnya dan dengan gaya yang disebut "Tarikan Gravitasi". Kamu juga dibuat dengan bintang jatuh yang bertemu dengan semua doa anak-anak berusia 5 tahun sebelum tidur. Kamu dikeluarkan dari selangkangan langit dan terjun bebas tepat ke arah Bumi. Semua itu lumrah karena kamu adalah anak Semesta. 

Dan bahkan, aku pernah memikirkanmu sebagai rumahku. Bagaimana badanmu adalah pondasi yang tepat untukku berlindung saat dunia berubah menjadi sangat keji. Matamu adalah cahaya yang akan menerangi segala kegelapan dalam hidupku. Mulutmu akan membuat berbagai alunan indah yang akan selalu membuatku terbius. Dan pikiranmu adalah tempat di mana aku ingin tinggal di sana selama-lamanya.

Dan malam ini aku pun memikirkanmu lagi. Memikirkan apakah kamu permah memikirkanku, seperti yang aku lakukan, saat ini. 

(Walaupun aku tahu kamu sedang sibuk berbincang dengannya saat ini)

ada yang jatuh cinta kepada diriku (dan menjadi posesif)

Aku ini apa
Hanya segumpal jiwa tanpa rasa
Berjalan di bumi tanpa tujuan
Hanya mengikuti ke mana kesepian mengarah

Untuk siapa aku ada
Hidup bahkan tak diperuntukkan untukku
Dan jikalau matahari terbit pada malam hari;
Tuhan tetap tahu akulah arti dari kesendirian itu sendiri

Apa gunanya
Saat hidup telah dibutakan oleh keraguan
Dan ilusi menjadi realita yang nyata
Maka semuanya menjadi tanda tanya;
Mungkin kematian adalah kehidupan yang tertunda

Maka suata hari aku bertanya
Mengapa kosong yang selalu terasa
Dan hening yang selalu ku dengar
Tak ada suka yang pernah melingkar
Hanya luka yang selalu menyapa

Dan hari ini aku mendapatkan jawabannya;

Mungkin kesedihan telah jatuh cinta kepada diriku.

Friday, January 1, 2016

bertemu kamu

2.34 PM

Terlalu terang. Aku tidak suka. Sepertinya matahari punya misi tersendiri untuk membakar seluruh isi bumi. 

Aku datang tepat waktu. Kamu telat 14 menit. 

2.35 PM

15 menit dan batang hidungmu masih belum terlihat. Minumanku sudah menghangat akibat sinar matahari yang terlalu panas. Pasangan di pojok ruangan juga sudah pergi. Mungkin ingin bermesraan ditempat yang lebih sepi, atau mungkin hanya sekedar ingin pergi ke tempat yang lebih dingin. Apapun alasannya, kamu masih belum datang juga.

2.47 PM

Akhirnya Vespa coklat yang selalu kamu cuci seminggu sekali itu pun datang juga.   

2.50 PM

Kamu duduk, memanggil pelayan dan memesan es lemon tea.

"Karena es teh manis itu konspirasi, manisnya cuman di awal doang. Aku gak suka." 

Jawabmu setiap kali aku bertanya.

2.51 PM

"Menurutmu kalau petir itu orang, dia akan seperti apa?" Tanyamu padaku.

5 tahun sudah tidak bertemu dan pertanyaan bodoh itu yang pertama kali kamu lontarkan. Tidak ada rindu ataupun basa-basi.

"Dingin." Jawabku singkat sambil meminum sisa minumanku yang sudah menghangat.

"Hanya dingin?" Tanyamu sambil membetulkan posisi duduk.

"Semerawutan. Suka-suka. Destructive."

"Menarik." Jawabmu tanpa melihatku karena sibuk merogoh tas mencari Marlboro merah kesukaanmu.

"Lalu, kalau pelangi adalah orang, dia akan seperti apa?" Tanyaku, berusaha menciptakan percakapan menarik. Kamu tak pernah suka obrolan yang biasa. 

"Seperti dia." Jawabmu seraya menunjuk perempuan yang duduk persis dibelakangku. 

"Kenapa?" Tanyaku dengan wajah kebingungan.

"Kenapa apanya?" Tanyamu yang juga ikut kebingungan.

"Kenapa bukan aku?" 

"Karena kamu adalah Petir, bukan Pelangi."

"Tetapi petir itu jelek." Jawabku tanpa bisa menutupi rasa iri. 

Lalu kamu tertawa.

"Kamu belum berubah ya." Jawabmu tanpa melihatku untuk yang kedua kalinya.

"Kamu tak akan pernah mengerti, karena kamu selalu menduduk." 

Kamu keluarkan dua lembar uang yang cukup untuk membayar semua pesanan, dan pergi begitu saja.

Meninggalkanku lagi, setelah 5 tahun pergi tanpa kabar.

3.09 PM

Vespa coklatmu sudah hilang. Matahari tiba-tiba lenyap dibalik awan-awan hitam.
Angin datang dari segala arah, menerbangkan daun-daun kering yang berjatuhan di ujung jalan.

Lalu, ada suara petir di ujung sana.

Ah, sialan.