Thursday, June 29, 2017

sekali lagi, saya ingin sakit mengenangmu

Saya tidak tahu mana yang lebih sakit; terus mengingatnya atau harus melupakannya. 

Saya terus teringat akan mendung yang selalu menggantung di langit sore Bandung kala itu. Dengan dia yang duduk di sebelah saya, berceloteh tentang hal yang sangatlah maju dan pintar. Dan lalu, datanglah ingatan tentang diri ini yang hanya bisa termangu tolol di sebelahnya. Ya, memang begitu adanya. Karena terkadang, cinta akan menemukan jalan agar selalu membuat kita terlihat bodoh di depan seseorang yang sangat kita kagumi. Seperti tak mengerti satu pun bahasa atau pun makna yang diucap oleh si orang tersayang. Tapi tak apa, saya tak merasa malu. Karena kadang, memang begitu adanya cinta. Ia ingin terlihat jujur tanpa palsu, terlihat apa adanya dan selalu bening. Karena semua itulah cinta; tanpa tirai dan tak pernah mengenal warna. 

Masih teringat jelas, hawa dingin hari itu yang mengantar saya dan dia berkeliling kota. Kami berbicara cukup lama. Saya sesekali merubah posisi agar bisa jauh lebih leluasa memandangnya. Ada sesuatu yang menarik tentang wajahnya. Mungkin rahangnya, selalu lucu rasanya jika tangan ini menyentuhnya. Atau mungkin alisnya? Jauh lebih terawat daripada alis-alis perempuan di Ibukota. Ah, jangan-jangan hidungnya. Mancung betul rasanya, jadi iri saya dibuatnya. Apa mungkin mulutnya? Karena dalam setiap gerut bibirnya, ia seperti menyimpan banyak cerita yang suatu hari, mungkin akan siap ia bagikan kepada saya. Namun, sepertinya saya tahu. Ada sesuatu di matanya, yang seperti menyimpan banyak tragedi. Sebuah ironi. Sebuah tangis berkata maaf. Sebuah teriakan yang tertahan. Sebuah bisik yang tak sempat terucap. Sebuah permohonan yang tak kunjung dikabulkan. Sebuah asa yang tengah hilang. Dan sebuah ucap berkata, "Tolong".

Mungkin sebuah memori takkan benar-benar hilang. Mungkin karena itu, saya tidak pernah benar-benar bisa melupakan momen tersebut. Detik di saat ia terawa, detik di saat saya mengkhayal. Menit di saat ia bernyanyi, menit di saat saya berdoa. Dan waktu di saat ia menatap saya, dan waktu ketika saya sesak nafas dibuatnya. Mungkin pula, sebuah memori memang bisa hilang seutuhnya. Tapi kalau begitu, sudah pasti saya tidak pernah mencobanya, pun tertarik.

Ah, apakah saya merasa bahwa cinta saya benar? Tidak juga. Bagaimana menyebutnya? Saya rasa, cinta saya adalah cinta yang jahat. Karena saya terlalu meminta dan menuntut. Karena saya terlalu memaksa dan pemarah. Saya rasa, cinta saya juga pendengki. Karena saya selalu iri dengan waktu sibuknya. Karena saya selalu cemburu dengan kawan-kawannya. Dan saya rasa, cinta saya juga pendendam. Karena saya masih ingat betul, detik dia meninggalkan saya, detik dia melupakan saya, dan detik dia tak lagi membutuhkan saya.

Ah, lantas, apa saya merasa cinta saya salah? Tidak juga. Begini. Bagi saya, cinta saya tulus. Karena saya menerimanya apa adanya. Ada atau pun hilang, pergi atau pun kembali; saya akan terus menerimanya. Kapan pun ia datang, kapan pun ia siap. Bagi saya, cinta saya juga baik. Karena saya ingin mengerti dirinya. Mengerti lukanya. Mengerti bagaimana ia dibesarkan, mengerti bagaimana ia bisa sehebat sekarang. Bagaimana ia memutuskan menjadi ia yang seperti ini, saya ingin tahu. Saya ingin paham. Saya ingin mengerti dirinya walau itu terasa sulit. Dan bagi saya, cinta saya itu nyata. Karena cinta saya ada ketika ia jauh, cinta saya ada ketika ia dekat. Karena cinta saya selalu mengutuk jarak, tapi tak benar-benar membencinya. 

Lalu, mengapa jadi seperti ini? 
Yang saya pelajari akhir-akhir ini adalah; cinta tidak melulu soal menang. Cinta tidak melulu soal bersama. Cinta tidak selamanya tentang dimiliki, atau pun memiliki. Terkadang, cinta adalah tentang melepaskan dan juga mengikhlaskan. Tentang bagaimana mempelajari hidup dari rasa sakit yang diciptakannya. Tentang merubah dendam menjadi memaafkan. Tentang menerima alasan tanpa harus diucapkan. Terkadang, cinta adalah soal luka, yang siap menusuk bahkan membusuk, dengan sakit yang terus membelenggu.

Lalu, apa sangkut pautnya dengan pertanyaan di atas? 
Lantas, haruskah saya melupakannya? 
Jika itu sakit, mengapa harus dikenang? 
Jika itu menyiksa, mengapa perlu diingat?

Begini, saya tidak tahu kamu, tapi saya ingin. Saya ingin lebih lama merasa sakit. Mungkin terkesan gila dan sedikit kehilangan akal. Biarlah, cinta bukan selalu tentang akal pikirmu. Tapi cinta, adalah tentang sebuah kesiapan. Bagaimana kamu siap merelakan kenangan yang terus menusukmu. Bagaimana kamu siap melupakan kasih yang sempat membuatmu mabuk. Dan bagaimana kamu siap untuk mengikhlaskan seseorang yang sempat kamu jadikan tempat kembali, untuk kamu lepas dan pergi bersama angan. Karena lagi-lagi, cinta datang bersamaan dengan waktu yang terus membuatmu terbiasa, untuk selalu hidup dan selalu berjalan dengan rasa sakit yang akan meninggalkan banyak bekas.

Maka, ini cara saya. Untuk mengenangnya. Untuk mengingatnya. Juga mengikhlaskannya, dan melepaskannya. Untuk belajar menjadi siap. Untuk meyakinkan diri kalau saya sudah siap. Ini cara saya. Mengeksplorasi sedikit lagi ingatan saya, tentang dia, tentang gurauannya, tentang sendunya. Ini saya yang ingin membagikan sedikit tentang dirinya kepada mu. 

Saya ingin menulisnya dalam banyak gaya bahasa, dalam setiap guyonan, dalam setiap puisi. Karena saya ingin kamu mengingatnya, seperti saya selalu mengingatnya. Saya ingin menulisnya dengan cantik dan megah. Agar kamu tahu rasa cinta saya begitu indah dan menawan. Namun, saya juga ingin menulisnya dengan sakit; saya ingin menulisnya dalam luka yang ia berikan kepada saya. Agar kamu mengerti, mencintainya tak melulu soal gampang. Agar kamu mengerti, jika kamu suatu hari memiliki kesempatan untuk mencintainya, maka jangan menyerah. Teruslah gapai mata sayu itu. Dan juga, saya ingin menulisnya dengan cinta; saya ingin menulisnya dalam kasih yang sempat ia berikan kepada saya, saat itu, yang terasa begitu tulus. Yang sempat ia berikan kepada saya, hari itu, di kala sore Bandung, saat rintik hujan mulai turun.

Maka dari itu saya harap kamu mengerti, bahwa saya cinta dia. Benar atau pun salah, baik atau pun buruk. Saya siap mencintai dan melupakan dia dengan segala konsekuensinya.

4.14 AM — terimakasih. karena kamu, saya menemukan jalan saya kembali dalam menulis.